Rabu, 18 Desember 2019

Upaya Korporasi Besar Berinovasi dan Tip Agar Startup Bisa Berkolaborasi


Jika dibandingkan dengan startup, korporasi besar kerap diidentikan sebagai entitas yang sulit menghadirkan inovasi yang cepat. Beberapa hal ini sering kali menjadi alasan dibalik macetnya inovasi-inovasi baru yang lahir dari rahim korporasi.
  • Soal akses birokrasi perusahaan yang rumit,
  • skala produksi yang besar, hingga
  • kendala ketersediaan waktu. 
Namun begitu, saat ini sudah banyak korporasi yang mulai berbenah. Beberapa muncul inisiatif baru, baik dari internal maupun yang melibatkan pihak eksternal. Beberapa perusahaan bahkan mulai terbuka dan mengajak startup berkolaborasi demi memenuhi kebutuhan pasar.

Mendorong inovasi internal lewat program akselerator

Inovasi bisa datang dari mana saja. Termasuk dari internal perusahaan. Hal inilah yang diupayakan Coca Cola Amatil Indonesia melalui inisiatif Amatil X pada tahun 2018Program ini merupakan wadah akselerator khusus bagi karyawan mereka yang memiliki ide inovasi bisnis.
Shark-Tank-Amatil-X-2
Amatil X membantu memfasilitasi karyawan mereka untuk megembangkan ide inovasi. Saat ini Coca Cola Amatil fokus mencari solusi dan inovasi di bidang logistik dan optimalisasi distribusi, analisis ketersediaan produk, dan pengemasan berkelanjutan.

Cara Blibli Mengamankan Data dan Meningkatkan Kepercayaan Konsumen



Laporan e-Conomy SEA 2019 dari Bain & Company, Temasek, dan Google memproyeksikan ekonomi digital Indonesia bakal tumbuh jadi US$130 miliar (sekitar Rp1,8 kuadriliun) di 2025 nanti. Untuk bisa memenuhi proyeksi tersebut, ada banyak hal yang perlu dilakukan oleh para pemain di sektor digital dalam negeri. Salah satunya adalah menghadirkan ekosistem yang aman.
Hal tersebut disadari penuh oleh Blibli. Sebagai salah satu pelaku e-commerce, mereka berkomitmen menjamin keamanan data pelanggan, sekaligus membantu edukasi agar semua stakeholder terlibat punya kesadaran berpartisipasi membentuk ekosistem digital yang kondusif.

ISO 27001:2013 sebagai bentuk komitmen

Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menyatakan jumlah perusahaan teknologi yang muncul di Indonesia tidak diimbangi dengan kesadaran untuk memenuhi sertifikasi keamanan sesuai anjuran pemerintah.
Intan Rahayu, Kasubdit Identifikasi Kerentanan dan Penilaian Risiko Perdagangan Berbasis Elektronik BSSN, mengungkapkan dari sekitar 1.500 perusahaan teknologi di Indonesia, hanya empat persen yang telah tersertifikasi. Angka tersebut pun banyak terbantu oleh perusahaan teknologi finansial (fintech) yang memang diwajibkan. Sisanya masih membangun sistem keamanan berdasar perspektif masing-masing.